– Maraknya aksi dedolarisasi memunculkan pertanyaan apakah dolar Amerika Serikat (AS) akan kehilangan dominasinya di sistem finansial global?
Seperti diketahui, dolar AS merupakan rajanya mata uang. Berdasarkan estimasi dari bank sentral AS (The Fed), antara 1999 sampai 2019, penggunaan dolar AS dalam perdagangan di Benua Amerika hingga 96%. Di Asia-Pasifik sebesar 74%, dan 79% di wilayah lainnya.
Namun, meski masih mendominasi, pangsa dolar AS di cadangan devisa (Cadev) global disebut mengalami penurunan drastis. Stephen Jen, CEO dan co-CIO Eurizon SLJ Capital bahkan menyebut dolar AS mengalami “keruntuhan menakjubkan”.
“Dolar AS menderita keruntuhan yang menakjubkan pada 2022 dalam pangsanya sebagai mata uang cadangan devisa, mungkin karena penerapan sanksi yang sangat tegas (ke Rusia)” tulis Jen sebagaimana dikutip Kitco, Rabu (19/4/2023).
Seperti diketahui, buntut dari perang dengan Ukraina, Amerika Serikat dan sekutunya membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Banyak yang melihat dolar AS bisa menjadi senjata bagi Amerika Serikat guna menekan negara lain. Dedolarisasi pun semakin masif terjadi.
Berdasarkan perhitungan Jen, pangsa dolar AS di cadangan devisa global pada 2001 mencapai 73%, kemudian turun menjadi 55% pada 2021. Tetapi, pada 2022, hanya dalam tempo satu tahun pangsanya anjlok menjadi 47%
Jika melihat data Currency Composition of Official Foreign Exchange Reserve (COVER) dari IMF, nilai dolar AS dalam cadangan devisa global memang mengalami penurunan drastis.
Pada kuartal IV-2021, nilainya mencapai US$ 7.085,01 miliar, sementara pada kuartal IV-2022 sebesar US$ 6.471,28 miliar.
Secara pangsa, pada 2021 sebesar 58,8%, sedangkan pada 2022 turun menjadi 58,4%. Pangsa tersebut menjadi yang terendah dalam 27 tahun terakhir.
Perhitungan pangsa yang digunakan Jen mungkin berbeda dengan laporan COFER IMF. Tetapi dedolarisasi memang sedang sangat marak.
Frank Giustra, co-chair International Crisis Group mengatakan pemerintah AS bisa menganggap aksi dedolarisasi bisa mengancam keamanan nasional, sehingga tentunya akan mengambil tindakan.
“Dedolarisasi akan tetap ada, sebab banyak negara non-Barat ingin memiliki sistem perdagangan yang tidak membuat mereka rentan terhadap dolar AS yang dijadikan senjata atau hagemoni. Ini bukan lagi sebuah pertanyaan, tetapi kapan (akan terjadi),” kata Giustra sebagaimana dilansir Business Insider, Rabu (3/5/2023).
Menurut Giustra, gagasan dolar AS akan kehilangan dominasinya tidak pernah terpikirkan oleh negara-negara maju, sampai akhirnya Amerika Serikat dan Sekutu membekukan cadangan devisa Rusia dan mengeluarkannya dari SWIFT akibat perang dengan Ukraina.
“Sistem finansial dibangun dengan kepercayaan, jika digunakan sebagai senjata, mereka akan kehilangan kepercayaan yang diperlukan untuk mempertahankan dominasinya,” kata Giustra.